Minggu, 07 Oktober 2012

PELAWAN : KULAT DAN MADU


Pelawan adalah nama pohon endemik di kawasan Bangka Belitung. Pohon Pelawan, sebenarnya membawa berkah bagi penduduk Bangka Belitung, betapa tidak, Pohon ini (hutannya) menghasilkan produk lokal berupa Kulat dan madu. Kulat adalah dialek lokal di Bangka untuk menyebut jamur. Jamur Pelawan terkenal sebagai Jamur termahal di dunia. Betapa tidak harga 1 kilogram (kering) Rp 1,5 - 2 Juta rupiah!! sementara, harga Madu Pelawan bila dalam botol sirop ABC Rp 200 - 400 ribu - dan dipercaya  memiliki khasiat untuk kesehatan tubuh dan kecerdasan otak. 


 
Berbicara tentang Kulat Pelawan, ada hal yang menarik, selain pertanyaan mengapa harganya yang begitu mahal, yaitu adalah 'keanehan' prasyarat untuk tumbuh. Mengapa? dikarenakan Kulat ini membutuhkan dengan prasyarat khusus untuk tumbuh,  yaitu harus ada guntur dan petir besar di antara hujan deras!!! (????) Tentu hal  ini menimbulkan pertanyaan, apa benar??? apa hubungan guntur/petir dengan jamur yang tumbuh????

Meningat keunikan tersebut, kami memutuskan untuk pergi 'berburu' kulat Pelawan, kebetulan saat itu masih dalam musim hujan yang sedang deras2nya dan seringkali diselingi guntur dan petir. Benar saja, sewaktu kami berkunjung ke Hutan Namang - Bangka Tengah, kedatangan kami tidak sia-sia, karena saat itu kebetulan sedang musim kulat Pelawan. Sungguh menyenangkan saat melihat jamur berwarna merah pink diantara lumut yang tumbuh di sela-sela pohon Pelawan, dan saya langsung berjongkok untuk mengambil fotonya. Benar2 lucu dan menggemaskan! hmm, jadinya langsung teringat buku komik anak  - Smurf....!

Menurut Sdr.Zainur (yang mendampingi kami), biasanya jamur ini panen pada bulan tiga, bulan enam atau bulan sembilan, tetapi dikarenakan musim hujan (berikut guntur dan petirnya) yang tidak menentu, sehingga saat ini sulit menentukan kapan bulan panen Kulat Pelawan.

Saat kami berkunjung ke hutan Pelawan tersebut, kami bertemu dengan rombongan adik2 dari UGM, dan menurut Zainur, sebelumnya adik2 dari ITB yang berkunjung. Apakah fenomena Kulat Pelawan vs Guntur/petir yang menyebabkan adik2 dari UGM dan ITB mengunjungi hutan Pelawan ini, walllahualam. 

Saat ini kondisi hutan Pelawan sudah kian tergerus, menghilang, musnah. Mengingat hal tersebut, tampaknya yang terpenting saat ini adalah bagaimana menyelamatkan hutan Pelawan yang dulu banyak ditemukan di tanah Bangka maupun Belitung, terlebih semenjak aktivitas Tambang Inkonvensional (TI) dan Perkebunan Sawit marak di daerah ini, sulit sekali mencari kayu Pelawan, boro-boro hutannya! Mengingat kedua aktivitas tersebut yang sulit untuk dikendalikan karena banyaknya kepentingan, sementara pemerintah juga kelihatan sulit untuk diandalkan, mungkin sudah saatnya masyarakat diberdayakan dan diingatkan lagi akan manfaat keberadaaan hutan khususnya Hutan Pelawan. 

Bahwa hutan juga bisa 'menghidupi' masyarakat di sekitarnya, dapat diwariskan bergenerasi-generasi, dan malah menawarkan kemakmuran -    hutan Pelawan tidak saja menghasilkan Jamur Termahal sedunia (1 kg = Rp. 1,5 - 2 juta), juga menghasilkan Madu Pelawan yang diperoleh dari lebah penghisap sari bunga pohon pelawan di hutan. Jadi, dalam setahun sesungguhnya masyarakat sekitar bisa dihidupi oleh Pohon Pelawan dalam 2 musim - yaitu pada saat musim kemarau, lebah hutan Pelawan akan menghasilkan Madu, dimana kuantitasnya pun sangat bergantung dengan jumlah bunga pohon Pelawan di hutan, dan di saat musim penghujan - hutan pelawan akan menghasilkan Kulat alias jamur Pelawan yang berharga jutaan. Bagaimana?

Nah, berbicara tentang mengapa Kulat Pelawan ini begitu populer di masyarakat Bangka, ternyata Kulat ini sangat enak. Lempah Kulat Pelawan adalah salah satu masakan yang populer dan dibanggakan masyarakat Bangka. Untuk itu bumbunya hanya 3 yaitu garam - terasi dan cabe rawit. Rasanya?? maknyuss!! bahkan Bondan Winarno - detikFood dalam liputan tentang Kuliner Khas Bangka - "Jamur yang satu ini bisa bikin ketagihan. Diselimuti kuah santan yang gurih dengan bumbu yang pedas-pedas enak. Dimakan dengan nasi hangat, makin sedap rasanya!".

Mau mencobanya??? Berikut resepnya:

Bahan:
50 g kulat (jamur) pelawan, boleh juga ditambahkan sayuran lain, seperti: batang daun keladi, pucuk labu, nenas, dan lain-lain.
200 ml santan
Bumbu:
10 siung bawang putih
10 siung bawang merah
2 cm kunyit
2 cm lengkuas (laos)
50 g blacan (trasi)
10 buah cabai merah
10buah cabai rawit

Cara Membuat:
Bersihkan kulat pelawan, rendam dalam air selama 15-30 menit. Haluskan semua bumbu (diuleg atau diblender). Di dalam panci, tumis bumbu halus dengan 2 sendok makan minyak sayur, kemudian tambahkan 4 gelas air (1 liter).Masukkan kulat pelawan dan sayuran lain, tambahkan santan, rebus dengan api sedang sampai bergolak dan cairan susut (reduced), kecilkan api sampai jamur dan sayuran matang. Angkat. 
(Resep diperoleh dari: Chef Zikri, Parai Beach Resort & Spa, Kawasan Pantai Parai Tenggiri
Sungailiat, Bangka Riset disponsori oleh PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk).


Sabtu, 22 September 2012

Penganan 'Pelite'

PENGANAN 'PELITE'

adalah makanan khas Bangka kesukaan Bung Karno (Soekarno) tatkala 'dibuang' Belanda ke kota Muntok - Bangka (th 1949).
Kue yang dibungkus daun dan terbuat dari tepung beras pilihan, santan dan gula putih yang ditempatkan dalam wadah daun pandan ini,  merupakan penganan Bung Karno setiap pagi. Kue inipun menjadi penganan 'wajib' yang dipersiapkan saat Bung Karno mengajak masyarakat Muntok berjalan-jalan menyusuri pantai dari Pesanggrahan Muntok - Tanjung Kalian.

(NB: Adapun para tokoh selain Bung Karno yang dibuang oleh Belanda ke Muntok setelah Yogyakarta, ibu kota Indonesia, diduduki kembali oleh Belanda dalam agresi militer II, 19 Desember 1948, adalah Wapres Bung Hatta, Menteri Luar Negeri Agus Salim, M Roem, Ali Sastroamijoyo, Komodor Udara Suryadarma, serta Mr AG Pringgodigdo ibuang di Bangka selama lima hingga tujuh bulan, mulai akhir Desember 1948 sampai pertengahan tahun 1949).
 
.

Kamis, 13 September 2012

"TAK KAN MELAYU HILANG DI BUMI?"

        Melayu menurut Daniel Perret - akademisi Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales Perancis -    Melayu bukan label etnis, tapi label budaya. Siapapun bisa menjadi Melayu jika beragama Islam, beradat-istiadat Melayu, berbahasa Melayu, dan mengaku Melayu. Sebagai label, kata Melayu - muncul pada abad ke -16 sebagai identifikasi diri dan pembeda dari suku-suku lain yang non-Muslim. Melayu di Sumatera Timur, karena telah beragama Islam, menyebut dirinya orang beradab, dan lainnya uncivilized , kanibal, dan kasar.  Melayu menjadi label budaya yang tidak memiliki batas wilayah.

       Melayu adalah rumpun dengan berbagai etnis di dalamnya, Minang, Palembang, Aceh, dan berbagai subetnis di sekujur Sumatera, banjar, Bugis, Makassar, hingga Betawi. Ada pula yang mengatakan, Melayu adalah 'rumah besar' dengan penghuninya berbagai etnis yang memiliki ornamen budaya, adat istiadat,serta agama yang sama, yaitu Islam. 

        Namun 'rumah besar' itu ambruk ketika Belanda dan Inggris menandatangai Traktat London 1824. Inggris berhak atas tanah-tanah Melayu di sekujur Semenanjung Malaya, Tumasik (kini bernama Singapura), dan sebagian Kalimantan. Belanda, setelah Traktat London, merasa berhak menjarah seluruh tanah Melayu di sekujur Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. 

        Inggris dan Belanda menerapkan pendekatan berbeda.Di Semenanjung Malaya, Inggris - meski masih memberi kekuasaan kepada para sultan - tidak menjalankan politik pemecahan rumpun Melayu.

       Belanda menjalankan pendekatan berbeda, dengan mengadu sultan satu dengan yang lain untuk mendapatkan pengaruh dan menguasai tanah-tanah Melayu. Akibatnya terjadi perpecahan anggota serumpun. Setiap etnis cenderung bangga dengan keetnisannya dan tidak lagi merasa sebagai bagian rumupun Melayau. Pada saat yang sama, Belanda menggebah Melayu dari kota-kota nenek moyang mereka ke pinggir kota dan memperkenalkan mereka dengan budaya agraris. Belanda pula yang menggebah Melayu dari kota-kota pelabuhan, mengerdilkan peran ekonomi dan kebaharian mereka. Pada saat yang sama, Belanda melemahkan jiwa entrepreneur Melayu dengan mendorong mereka untuk menjadi orang upahan dan karyawan. Upaya ini dibarengi dengan mengkooptasi kekuasaan para sultan. sehingga 3 dimensi kekuasaan yang dimiliki rumpun Melayu tergerus. Dan dari segi dimensi kebudayaan, budaya Melayu kehilangan ruh dan karakternya ketika bersentuhan dengan pengaruh luar.